Minggu, 27 Desember 2020

Gara-gara Fiersa Besari (Padahal Kevin Anggara)

 Untuk Fiersa Besari dan Kevin Anggara, sebelumnya terimakasih karena menjadi bagian inspirasi gue buat ... ntar deh gue kasi tau. Kalo sekarang gue kasi tau yang ada tulisan blog gue ini nggak bikin penasaran kalian, walau sebenernya penasaran kalian nggak bakal bikin Nobita berubah jadi rajin juga.  

Sekitar pukul 19.00 WIB, gue buka hp, masuk instagram, liat insta story Fiersa Besari yang lagi pamer kalo ig nya bisa swipe up, ternyata ngarahin keyutub channelnya (mamang cilok), liat komentar orang yang bilang "lama-lama ni konten mirip punyanya Kevin Anggara, sedikit tapi seru", terus gue tulis di pencarian nama 'Kevinchocs', gue liatin kontennya dimulai dari Dark, tes satu dua tiga, isinya rieview lensa sony dan lebih banyak ke QNA, terus ada Q yang nanyain tentang blog si Kevin, Kevin ngasih tau nama blognya, gue tulis lagi di pencarian, tapi kali ini di google bukan di youtube, gue ketik 'www.kevinanggara.com', gue berhasil masuk ke blognya, baca baca sebentar, dan gue nemuin tulisan yang sefrekuensi sama gue. 

Di blognya gue ngutip kalo awalnya Kevin nulis atau bikin konten karena dia mau, bukan masalah out put atau in put. Gue lupa ada out put aja atau ada in putnya juga. Intinya bukan masalah uang, dia mau nglakuin itu karena dia lagi pengen aja. Ini mewakili gue banget. Diawal gue nulis blog emang karena gue lagi pengen aja. Perihal sekarang jarang nulis blog ya karena pengen aja. 'Pengen aja' jadi alesan tersimpel gue buat jawab pertanyaan orang-orang, walaupun gue lebih sering ngejago buat ngrangkai kata agar jawaban gue keliatan kaya pelajar beneran. 

Jadi udah kejawab ya, kenapa nama Fiersa Besari dan Kevin Anggara jadi kesebut bahkan gue bikin judul buat blog gue. Tapi sebenernya kan Kevin Anggara yang nginspirasi gue buat nulis blog lagi, kenapa Fiersa Besari ikutan ya.. Oh enggak, kali ini gue mau ngehargain proses. Coba aja gue ngga liat Insta story beliau dan swipe up buat liat kontennya, pasti ngga bakal dapet inspirasi dari Kevin. Lah tapi kan komenan netijen yang bikin gue jadi nyari nama 'Kevin chocs' di youtube. Tapi tangan gue juga yang kerajinan maghrib-maghrib udah buka Instagram aja buat liatin insta story orang-orang. Kayanya gue juga harus berterimakasih ke tangan gue deh. Kok gue jadi bingung ya.

Terus kenapa tangan gue rajin banget..

Ya... Karena pengen aja.

Jumat, 04 Desember 2020

Sebut Saja Aku Indigo

 

SEBUT SAJA AKU INDIGO



Oleh : Rinipeen

Cerita ini hanyalah fiktif dengan didasari oleh haluan belaka

Aku adalah seorang mahasiswi. Jurusanku menuntutku untuk dapat berbicara didepan orang banyak, dan tidak menutup kemungkinan itu adalah orang baru. Aku seorang perempuan yang memiliki ekspresi wajah jutek. Hanya bentuknya saja, sebenarnya aku pendengar yang baik. Saking anehnya ekspresi wajah yang kumiliki, orang-orang mudah percaya bahwa aku bisa melihat yang tak terlihat.

 

Tiga hari yang lalu aku mendapat japri ditelegram dari orang asing yang baru aku kenal. Namanya Reza, atau Eza. Dia berasal dari Bandung, terdengar dari nada bicaranya yang kesunda-sundaan. Umur kami sama, dan tentu saja itu membuat percakapan semakin akrab. Aku tegaskan hanya akrab, bukan bucin. Atau seperti mengirim emot tertawa, tapi memasang ekspresi biasa saja. Dia adalah mahasiswa dari jurusan Design Grafis. Tidak heran jika skillnya bisa sangat membantunya berkarya dan bernilai. Kita teman. Yasudahlah begitu saja perkenalan dengan Eza, harusnya ini cerita horor komedi, bukan biografi Reza.

 

Tiga hari lagi adalah libur panjang untuk kampusku. Aku tidak berencana pulang kekampung, melainkan liburan disuatu daerah yang ingin aku singgahi sejak lama. Aku teringat postingan orang lain di Instagram. Dia sedang berdiri dibelakang bangunan yang sangat cantik. Tanda lokasinya bernama Mercusuar. Sekejap kukira itu di London atau di belahan bumi Eropa lainnya. Setelah aku stalk ternyata masih dinegeriku. Paris. Atau paris van Java. Tepatnya Bandung. Baiklah, kali ini aku akan ke Bandung.

 

Setelah mencoba bertarung dengan waktu, sekitar pukul 01.00 aku berhasil mendapatkan tiket termurah dari Pekanbaru ke Bandung. Penerbangan pukul 09.00 WIB. Singkatnya aku sudah take off, dengan posisi duduk didekat jendela. Aku menikmati perjalan dengan antusias namun lagi-lagi ekspresiku tidak bisa menunjukkannya. Dengan headset gaming terpasang dikepalaku dan mata mulai sayup-sayup, aku tertidur. Berharap setelah membuka mata, pesawat sudah tiba di Bandung. Sialnya baru 1 jam, terjadi keributan dikursi belakang. Aku tau karena merasakan kursi yang kududuki bergerak terus menerus dan membuatku tidak nyaman.

 

Tadinya aku tidak mempermasalahkan, tapi setelah dua orang pramugari datang untuk melerai namun penumpang dibelakangku tidak mau tenang. Aku menengok kebelakang dengan harapan mereka bisa menangkap sinyal jika aku ingin ketenangan. Aku melihat seorang ibu-ibu kesal dengan teman sebangkunya karena memuntahkan makanan dicelananya. Ternyata orang tersebut mabuk udara.

“Ibu, mau tau kenapa ibu bisa mabuk udara?” Kataku.

“Kenapa dek?”

“Saya anak indigo bu” Kataku. Aku melirik sekitar alih-alih siapa saja yang mendengarkan dialog ini. Tapi sepertinya mereka salah tangkap. “Yang saya lihat ada sosok aneh yang memegangi kepala ibu. Jadi saya sarankan ibu tenangkan pikiran dan bawa tidur ya bu. Saya yakin ibu tidak akan mabuk lagi.” Kataku lagi.

Semua yang mendengarkan tercengang sembari membaca do’a andalan masing-masing. Begitupun ibu-ibu yang mabuk tadi. Aku memang berbohong, tapi bukan itu intinya. Ini sama saja ketika kamu diberi satu harapan, memang harapan palsu. Namun setidaknya itu menenangkanmu dan memotivasimu hingga bisa menjadi lebih baik lagi. Sama seperti obat. Yang membuat kamu sembuh adalah keyakinanmu sendiri, mungkin obat adalah objek untuk menuangkan keyakinan itu. Karena manusia selalu butuh alasan.

 

Aku tiba di Bandung dan memilih penginapan standar untuk tujuh hariku. Kalian masih ingat Eza? Ya, aku menghubunginya. Kedengarannya si Eza sangat excited, namun tidak lebih dari 5 menit kami tatap muka seorang perempuan menghampirinya. Pacarnya. Dia datang dengan seribu pertanyaan diwajahnya.

“Halo, aku sodaranya Eza dari Pekanbaru.” Aku menyalaminya. Eza belum izin kepacarnya ternyata.

“Owhh...hehe iya kak. Saya temen Eza, saya mau pesan gambar.” Astaga, pelanggan. Aku kira pacarnya wkwk.

 

Alih-alih kebandung, aku ingin mengunjungi Bu De di Bekasi. Butuh waktu 4 jam untuk sampai kesana. Teknologi memang memudahkan setiap umat manusia dibumi. Aku memesan go-car. Tidak perduli akan seberapa lama waktu macetnya, aku akan tetap naik go-car. Selain keamanan, dan menghindari debu, jilbab yang kukenakan juga tidak akan berantakan terbawa angin. Supirnya ramah dan agak bingung ketika melihat aku hanya sendirian. Tapi ia tidak keberatan.

“Sesuai lokasi kan dek? Sepertinya sudah sampai”. Kata pak supir.

“Rumah makan Mie Surya kan pak?” tanyaku.

“Owhhh mie surya, maju sedikit lagi berarti dek. Kamu anaknya?”

“Saya keponakannya pak.”

“Saya sering mangkal disini dek, nganterin pelanggan bolak balik di jalan ini. Jadi sudah sering lihat rumah makan mie surya. Kadang saya juga makan disini. Oh iyaiya ternyata kamu ponakannya.”

“Ysudah terimakasih ya pak.” Kataku.

 

Karena aku belum bilang ke Bu De akan singgah, sontak dia bingung. Kami pun sudah lama tidak bertemu. Untungnya dia mengenaliku walaupun katanya penampilanku sudah banyak berubah. Aku tidak berencana bermalam disana, maka aku memesan go-car lagi untuk menuju ke Bandung. Tepatnya pukul 8 pm. Bu De melarangku karena sudah malam. Tapi aku membangkang, “sekalian muterin jakarta dimalam hari Bu De.” Jawabku. Jika memang terjadi yang tidak diinginkan bilang saja aku indigo.

 

Benar saja, kali ini sopirnya agak lain. Aku membuka google maps dan jalur yang kami tuju berlawanan dengan lokasi penginpanku. Sunyi, dan sepi. Entah dibawa kemana aku oleh pak sopir. Ini mah sudah niat jahat.

 

“Pak, sudah berapa lama jadi sopir go-car?” tanyaku.

“Lumayan lama lah dek”

“Sepertinya jalan yang bapak tuju, melawan arah dengan tempat penginapan saya pak.”

“Kita mampir ke rumah teman saya dulu ya. Cuma sebentar.”

“Ada bunga melati dirumah teman bapak?”

“Bunga melati untuk apa dek?”

“Kebetulan saya bawa teman-teman saya selama perjalanan, dari tadi mereka ngeluh kelaperan pak. Biasanya saya kasih bunga melati.”

“Temen-temen yang mana dek? Dari tadi juga adek naik sendirian.” Kata pak sopir sambil melihat kaca spion yang menyorot kebelakang. Sesekali melihat kearahku.

“Bapak tidak melihat dua anak kecil yang dibelakang kita? Yang satu mata kirinya hampir lepas, yang satunya lagi kepalanya memutar 360 derajat. Mereka akan sangat marah jika sedang kelaparan.”

“Ka...kalau tidak makan bunga melati... penggantinya apa dek?”

“Daging segar yang masih hidup seperti... seperti apa teman-teman?” Aku menoleh kebelakang.

“Pak, mereka menunjuk ke bapak.” Kataku.

“kamu jangan bohongin saya.” Suaranya mulai bergetar.

“Hahahaha... pak. Saya indigo”.

Seketika pak sopir ngrem mendadak dan menurunkanku di jalan. Dia ketakutan bukan kepalang. Aku terkikik dan mulai menyadari dimana aku sekarang.

 

Hp ku berdering, Eza menelponku. Heeiii pas sekali.

“Aku di teras. Keluarlah.” Kata Eza.

“Aku ntah dimana, jemputlah.” Kata ku.

“Serius?”

“Aku sudah share lokasi.”

“Memang sesuatu kamu ya. Tunggu disitu.”

 

Kami mengakhiri panggilan. Kulihat ada pos jaga, sepertinya tempat tongkrongan. Aku duduk terdiam dengan kaki menyilang tertutup rok tutuku. Tidak lama segerombolan anak laki-laki datang. Awalnya mereka terkejut dan memang masih terkejut.

“Saha iye?”

Aku hanya melihat mereka kemudian menundukkan kepala lagi.

“Astaghfirullohal’ajim, kakinya ngambang bre.” Kata salah satu anak laki-laki.

“Ass..assalamualaikum teteh, ini teh udah malem. Ma...maaf teteh teh ngapain kadie?” Salah satu diantara mereka menyapaku.

“Wa’alaikum salam. Saya lagi nunggu orang, disuruh nunggu disini. Kalian kenapa mukanya gitu semua?”.

“Maaf teh, punten atuh ini mah nyak. Kaki teteh teh kamana ih atuh serem pisan.”

Aku meluruskan kaki sambil berkata “Ini kaki saya. Kalian kira saya apa ngga punya kaki.”

“Alhamdulillah, manusia.” Kata salah satu anak laki-laki lainnya.

“Teh bahaya atuh nundukin kepala gitu, meni kakinya nte aya.”

“Hemmm saya lagi nyari cincin saya jatuh dek.”

“Owhhhhh... cincin.” Kata mereka dengan kompak.

“Oh ini rupanya cincin saya ditas.” Kataku.

 

“tiinnnn.” Eza datang.

“Ysudah saya pergi duluan ya, makasih loh udah nemenin. Kalo ronda di cek bener-bener ya kompleknya.” Kataku.

“Kunaon emangnya teh?”

“Banyak tuyul, wkwkkw”. Kataku sambil berjalan menuju Eza.

“Tetehhh!..”

 

Mereka lucu hingga Eza yang mendengar ceritaku tertawa terbahak-bahak. Ini bukan masalah membodoh-bodohi orang. Tapi strategi melindungi diri dari ancaman. Aku tidak benar-benar bisa melihat yang tak terlihat. Tidak ingin juga. Karena ekspresi wajah inilah aku jadikan sebagai senjata. Tidak dengan kekerasan juga nasehat-nasehat, karena orang akan lebih respect ke hal-hal negatif. Kenapa tidak kita bungkam saja alih-alih berteriak meminta tolong.

 

Sampai dipenginapan aku kaget karena orang-orang berpesta ria. Tengah malam begini mengadakan pesta. Eza hanya menghela napas dan pulang. Aku juga tidak lupa untuk berterimakasih.

Tadinya aku ingin melapor karena musiknya dihidupkan terlalu keras, tapi tak masalah. Aku bisa memakai headset gamingku. Busanya bisa menghambat suara dari luar.

 

Handphone ku kembali berdering. Eza menelpon lagi. Menanyakan apa kegiatanku besok. Kujawab tidak ada. Suaraku cukup lantang, khawatir Eza tidak bisa mendengar suaraku karena musik keras dari luar kamar.

“Pelan aja suaranya, aku denger kok.” Kata Eza.

“Oh ya? Aku pikir suara keras musik dari luar bakal kedengaran juga dikamu.”

“Emangnya siapa yang main musik keras malam-malam begini?”

“Loh, bukannya kamu tadi lihat orang-orang dipenginapanku pada lagi pesta. Habis gajian kali ya, hahaha” Kataku, lagi.

“Hah, yang aku lihat tadi petugasnya sedang membenarkan salon. Aku kira salonnya bermasalah.”

“Setelah turun dari motormu, bukan itu yang aku lihat. Mereka ngadain pesta za.”

“Kamu serius? Penginapan itu emang terkenal musik sundanya. Buat daya tarik juga. Pasti pegawai disitu sedih karena salonnya harus diservis. Salonnya legend banget lo. Tapi tidak pernah untuk pesta. Lagian pesta apaan pakai lagu sunda.” Kata Eza, lagi.

Aku keluar kamar dan membuka pintu. Sekejap musik itu tidak terdengar lagi. Eza benar, salonnya bermasalah. Semua orang tidak ada, kecuali pegawai yang biasa ada di lobi.

“Permisi pak, kok salonnya dimatiin?” Tanyaku.

“Dari tadi mati neng. Ngga bisa hidup ini teh nggatau saya kenapa.”

Kabelnya belum terpasang.

“Pak kabelnya belum terpasang.” Jawabku.

“ Iya itu dari tadi saya matiin, takut konslet. Tapi sebelumnya saya hidupin memang tidak mau nyala.”

“Bapak pasang lagu sunda?”

“Iya neng, biasanya emang selalu lagu sunda. Sambil nyruput kopi enak pisan.”

 

Aku memasang kabelnya dan menyuruh bapak tersebut untuk memainkan musik. Tidak bisa menyala. Aku jelas ingat setelah turun dari motor Eza, mereka melakukan pesta dengan lagu rock.

“Pak disini ada lagu slank?”

“Slank, ada atuh neng.”

Aku memutarnya dan benar saja, suaranya hidup. Si pegawai bertanya alih-alih kebingungan. “Kok bisa hidup ya neng?” “Saya juga tidak tau pak.”. kami saling tatap menatap. Kadang melirik ke sekitar ruangan. Kulihat bulu kuduk si bapak berdiri. “Neng?” “Iya?”. “Indigo ya?” Ucapnya lirih.

Matanya penuh harapan agar aku menjawab tidak.

Kujawab...

 

“pak...

 

...anggap saja...

..aku indigo..”.

 

Mahasiswa Perminyakan UIR Lulus Tanpa Sidang Skripsi, Ini Alasannya

       Muhammad Yudatama Hasibuan (kiri) Dosen pembimbing tugas akhir (kanan)      Muhammad Yudatama Hasibuan mahasiswa prodi Perminyakan Un...