SEBUT SAJA AKU INDIGO
Oleh : Rinipeen
Cerita ini hanyalah fiktif dengan didasari oleh haluan belaka
Aku adalah
seorang mahasiswi. Jurusanku menuntutku untuk dapat berbicara didepan orang
banyak, dan tidak menutup kemungkinan itu adalah orang baru. Aku seorang
perempuan yang memiliki ekspresi wajah jutek. Hanya bentuknya saja, sebenarnya
aku pendengar yang baik. Saking anehnya ekspresi wajah yang kumiliki,
orang-orang mudah percaya bahwa aku bisa melihat yang tak terlihat.
Tiga hari yang
lalu aku mendapat japri ditelegram dari orang asing yang baru aku kenal.
Namanya Reza, atau Eza. Dia berasal dari Bandung, terdengar dari nada bicaranya
yang kesunda-sundaan. Umur kami sama, dan tentu saja itu membuat percakapan
semakin akrab. Aku tegaskan hanya akrab, bukan bucin. Atau seperti mengirim
emot tertawa, tapi memasang ekspresi biasa saja. Dia adalah mahasiswa dari
jurusan Design Grafis. Tidak heran jika skillnya bisa sangat membantunya
berkarya dan bernilai. Kita teman. Yasudahlah begitu saja perkenalan dengan
Eza, harusnya ini cerita horor komedi, bukan biografi Reza.
Tiga hari lagi
adalah libur panjang untuk kampusku. Aku tidak berencana pulang kekampung,
melainkan liburan disuatu daerah yang ingin aku singgahi sejak lama. Aku
teringat postingan orang lain di Instagram. Dia sedang berdiri dibelakang
bangunan yang sangat cantik. Tanda lokasinya bernama Mercusuar. Sekejap kukira
itu di London atau di belahan bumi Eropa lainnya. Setelah aku stalk
ternyata masih dinegeriku. Paris. Atau paris van Java. Tepatnya Bandung.
Baiklah, kali ini aku akan ke Bandung.
Setelah mencoba
bertarung dengan waktu, sekitar pukul 01.00 aku berhasil mendapatkan tiket
termurah dari Pekanbaru ke Bandung. Penerbangan pukul 09.00 WIB. Singkatnya aku
sudah take off, dengan posisi duduk didekat jendela. Aku menikmati perjalan
dengan antusias namun lagi-lagi ekspresiku tidak bisa menunjukkannya. Dengan
headset gaming terpasang dikepalaku dan mata mulai sayup-sayup, aku tertidur.
Berharap setelah membuka mata, pesawat sudah tiba di Bandung. Sialnya baru 1
jam, terjadi keributan dikursi belakang. Aku tau karena merasakan kursi yang
kududuki bergerak terus menerus dan membuatku tidak nyaman.
Tadinya aku
tidak mempermasalahkan, tapi setelah dua orang pramugari datang untuk melerai
namun penumpang dibelakangku tidak mau tenang. Aku menengok kebelakang dengan
harapan mereka bisa menangkap sinyal jika aku ingin ketenangan. Aku melihat
seorang ibu-ibu kesal dengan teman sebangkunya karena memuntahkan makanan
dicelananya. Ternyata orang tersebut mabuk udara.
“Ibu, mau tau
kenapa ibu bisa mabuk udara?” Kataku.
“Kenapa dek?”
“Saya anak
indigo bu” Kataku. Aku melirik sekitar alih-alih siapa saja yang mendengarkan
dialog ini. Tapi sepertinya mereka salah tangkap. “Yang saya lihat ada sosok
aneh yang memegangi kepala ibu. Jadi saya sarankan ibu tenangkan pikiran dan
bawa tidur ya bu. Saya yakin ibu tidak akan mabuk lagi.” Kataku lagi.
Semua yang
mendengarkan tercengang sembari membaca do’a andalan masing-masing. Begitupun
ibu-ibu yang mabuk tadi. Aku memang berbohong, tapi bukan itu intinya. Ini sama
saja ketika kamu diberi satu harapan, memang harapan palsu. Namun setidaknya
itu menenangkanmu dan memotivasimu hingga bisa menjadi lebih baik lagi. Sama
seperti obat. Yang membuat kamu sembuh adalah keyakinanmu sendiri, mungkin obat
adalah objek untuk menuangkan keyakinan itu. Karena manusia selalu butuh
alasan.
Aku tiba di
Bandung dan memilih penginapan standar untuk tujuh hariku. Kalian masih ingat
Eza? Ya, aku menghubunginya. Kedengarannya si Eza sangat excited, namun tidak
lebih dari 5 menit kami tatap muka seorang perempuan menghampirinya. Pacarnya.
Dia datang dengan seribu pertanyaan diwajahnya.
“Halo, aku
sodaranya Eza dari Pekanbaru.” Aku menyalaminya. Eza belum izin kepacarnya
ternyata.
“Owhh...hehe
iya kak. Saya temen Eza, saya mau pesan gambar.” Astaga, pelanggan. Aku kira
pacarnya wkwk.
Alih-alih
kebandung, aku ingin mengunjungi Bu De di Bekasi. Butuh waktu 4 jam untuk
sampai kesana. Teknologi memang memudahkan setiap umat manusia dibumi. Aku
memesan go-car. Tidak perduli akan seberapa lama waktu macetnya, aku akan tetap
naik go-car. Selain keamanan, dan menghindari debu, jilbab yang kukenakan juga tidak
akan berantakan terbawa angin. Supirnya ramah dan agak bingung ketika melihat
aku hanya sendirian. Tapi ia tidak keberatan.
“Sesuai lokasi
kan dek? Sepertinya sudah sampai”. Kata pak supir.
“Rumah makan
Mie Surya kan pak?” tanyaku.
“Owhhh mie
surya, maju sedikit lagi berarti dek. Kamu anaknya?”
“Saya
keponakannya pak.”
“Saya sering
mangkal disini dek, nganterin pelanggan bolak balik di jalan ini. Jadi sudah
sering lihat rumah makan mie surya. Kadang saya juga makan disini. Oh iyaiya
ternyata kamu ponakannya.”
“Ysudah
terimakasih ya pak.” Kataku.
Karena aku
belum bilang ke Bu De akan singgah, sontak dia bingung. Kami pun sudah lama
tidak bertemu. Untungnya dia mengenaliku walaupun katanya penampilanku sudah
banyak berubah. Aku tidak berencana bermalam disana, maka aku memesan go-car
lagi untuk menuju ke Bandung. Tepatnya pukul 8 pm. Bu De melarangku karena
sudah malam. Tapi aku membangkang, “sekalian muterin jakarta dimalam hari Bu
De.” Jawabku. Jika memang terjadi yang tidak diinginkan bilang saja aku indigo.
Benar saja,
kali ini sopirnya agak lain. Aku membuka google maps dan jalur yang kami
tuju berlawanan dengan lokasi penginpanku. Sunyi, dan sepi. Entah dibawa kemana
aku oleh pak sopir. Ini mah sudah niat jahat.
“Pak, sudah
berapa lama jadi sopir go-car?” tanyaku.
“Lumayan lama
lah dek”
“Sepertinya
jalan yang bapak tuju, melawan arah dengan tempat penginapan saya pak.”
“Kita mampir ke
rumah teman saya dulu ya. Cuma sebentar.”
“Ada bunga
melati dirumah teman bapak?”
“Bunga melati
untuk apa dek?”
“Kebetulan saya
bawa teman-teman saya selama perjalanan, dari tadi mereka ngeluh kelaperan pak.
Biasanya saya kasih bunga melati.”
“Temen-temen
yang mana dek? Dari tadi juga adek naik sendirian.” Kata pak sopir sambil
melihat kaca spion yang menyorot kebelakang. Sesekali melihat kearahku.
“Bapak tidak
melihat dua anak kecil yang dibelakang kita? Yang satu mata kirinya hampir
lepas, yang satunya lagi kepalanya memutar 360 derajat. Mereka akan sangat
marah jika sedang kelaparan.”
“Ka...kalau
tidak makan bunga melati... penggantinya apa dek?”
“Daging segar
yang masih hidup seperti... seperti apa teman-teman?” Aku menoleh kebelakang.
“Pak, mereka
menunjuk ke bapak.” Kataku.
“kamu jangan
bohongin saya.” Suaranya mulai bergetar.
“Hahahaha...
pak. Saya indigo”.
Seketika pak
sopir ngrem mendadak dan menurunkanku di jalan. Dia ketakutan bukan kepalang.
Aku terkikik dan mulai menyadari dimana aku sekarang.
Hp ku
berdering, Eza menelponku. Heeiii pas sekali.
“Aku di teras.
Keluarlah.” Kata Eza.
“Aku ntah dimana,
jemputlah.” Kata ku.
“Serius?”
“Aku sudah
share lokasi.”
“Memang sesuatu
kamu ya. Tunggu disitu.”
Kami mengakhiri
panggilan. Kulihat ada pos jaga, sepertinya tempat tongkrongan. Aku duduk
terdiam dengan kaki menyilang tertutup rok tutuku. Tidak lama segerombolan anak
laki-laki datang. Awalnya mereka terkejut dan memang masih terkejut.
“Saha iye?”
Aku hanya
melihat mereka kemudian menundukkan kepala lagi.
“Astaghfirullohal’ajim,
kakinya ngambang bre.” Kata salah satu anak laki-laki.
“Ass..assalamualaikum
teteh, ini teh udah malem. Ma...maaf teteh teh ngapain kadie?” Salah satu
diantara mereka menyapaku.
“Wa’alaikum
salam. Saya lagi nunggu orang, disuruh nunggu disini. Kalian kenapa mukanya
gitu semua?”.
“Maaf teh,
punten atuh ini mah nyak. Kaki teteh teh kamana ih atuh serem pisan.”
Aku meluruskan
kaki sambil berkata “Ini kaki saya. Kalian kira saya apa ngga punya kaki.”
“Alhamdulillah,
manusia.” Kata salah satu anak laki-laki lainnya.
“Teh bahaya
atuh nundukin kepala gitu, meni kakinya nte aya.”
“Hemmm saya
lagi nyari cincin saya jatuh dek.”
“Owhhhhh...
cincin.” Kata mereka dengan kompak.
“Oh ini rupanya
cincin saya ditas.” Kataku.
“tiinnnn.” Eza
datang.
“Ysudah saya
pergi duluan ya, makasih loh udah nemenin. Kalo ronda di cek bener-bener ya kompleknya.”
Kataku.
“Kunaon
emangnya teh?”
“Banyak tuyul,
wkwkkw”. Kataku sambil berjalan menuju Eza.
“Tetehhh!..”
Mereka lucu
hingga Eza yang mendengar ceritaku tertawa terbahak-bahak. Ini bukan masalah
membodoh-bodohi orang. Tapi strategi melindungi diri dari ancaman. Aku tidak
benar-benar bisa melihat yang tak terlihat. Tidak ingin juga. Karena ekspresi
wajah inilah aku jadikan sebagai senjata. Tidak dengan kekerasan juga
nasehat-nasehat, karena orang akan lebih respect ke hal-hal negatif. Kenapa tidak
kita bungkam saja alih-alih berteriak meminta tolong.
Sampai
dipenginapan aku kaget karena orang-orang berpesta ria. Tengah malam begini
mengadakan pesta. Eza hanya menghela napas dan pulang. Aku juga tidak lupa
untuk berterimakasih.
Tadinya aku
ingin melapor karena musiknya dihidupkan terlalu keras, tapi tak masalah. Aku
bisa memakai headset gamingku. Busanya bisa menghambat suara dari luar.
Handphone ku
kembali berdering. Eza menelpon lagi. Menanyakan apa kegiatanku besok. Kujawab
tidak ada. Suaraku cukup lantang, khawatir Eza tidak bisa mendengar suaraku
karena musik keras dari luar kamar.
“Pelan aja
suaranya, aku denger kok.” Kata Eza.
“Oh ya? Aku
pikir suara keras musik dari luar bakal kedengaran juga dikamu.”
“Emangnya siapa
yang main musik keras malam-malam begini?”
“Loh, bukannya
kamu tadi lihat orang-orang dipenginapanku pada lagi pesta. Habis gajian kali
ya, hahaha” Kataku, lagi.
“Hah, yang aku
lihat tadi petugasnya sedang membenarkan salon. Aku kira salonnya bermasalah.”
“Setelah turun
dari motormu, bukan itu yang aku lihat. Mereka ngadain pesta za.”
“Kamu serius?
Penginapan itu emang terkenal musik sundanya. Buat daya tarik juga. Pasti
pegawai disitu sedih karena salonnya harus diservis. Salonnya legend banget lo.
Tapi tidak pernah untuk pesta. Lagian pesta apaan pakai lagu sunda.” Kata Eza,
lagi.
Aku keluar
kamar dan membuka pintu. Sekejap musik itu tidak terdengar lagi. Eza benar,
salonnya bermasalah. Semua orang tidak ada, kecuali pegawai yang biasa ada di
lobi.
“Permisi pak,
kok salonnya dimatiin?” Tanyaku.
“Dari tadi mati
neng. Ngga bisa hidup ini teh nggatau saya kenapa.”
Kabelnya belum
terpasang.
“Pak kabelnya
belum terpasang.” Jawabku.
“ Iya itu dari
tadi saya matiin, takut konslet. Tapi sebelumnya saya hidupin memang tidak mau
nyala.”
“Bapak pasang
lagu sunda?”
“Iya neng,
biasanya emang selalu lagu sunda. Sambil nyruput kopi enak pisan.”
Aku memasang
kabelnya dan menyuruh bapak tersebut untuk memainkan musik. Tidak bisa menyala.
Aku jelas ingat setelah turun dari motor Eza, mereka melakukan pesta dengan
lagu rock.
“Pak disini ada
lagu slank?”
“Slank, ada
atuh neng.”
Aku memutarnya
dan benar saja, suaranya hidup. Si pegawai bertanya alih-alih kebingungan. “Kok
bisa hidup ya neng?” “Saya juga tidak tau pak.”. kami saling tatap menatap.
Kadang melirik ke sekitar ruangan. Kulihat bulu kuduk si bapak berdiri. “Neng?”
“Iya?”. “Indigo ya?” Ucapnya lirih.
Matanya penuh
harapan agar aku menjawab tidak.
Kujawab...
“pak...
...anggap
saja...
..aku
indigo..”.
Makasih bisa buat aku ssdikit ketawa baca cerita ini rin wkwkwkwk, good lah lanjutkan🤩
BalasHapusthank you hehe
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus